Sabtu, 29 Agustus 2009

PENDAHULUAN










Segala puji bagi Allah, kami melantunkan puja-puji, meminta pertolongan dan memohon ampunan kepada-Nya. Kami berlindung kepada Allah SWT dari kejahatan diri kami dan keburukan amal perbuatan kami. Siapa yang diberikan petunjuk oleh Allah SWT maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah SWT maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Shalawat dan salam atasnya, keluarganya, sahabatnya, dan mereka yang melanjutkan dakwahnya, memegang sunnahnya, dan memperjuangkan agamanya, hingga hari kiamat.





Salam hormat yang paling baik, yang aku ucapkan kepada kalian adalah salam Islam, yaitu as-salamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh. Pembahasan kita pada kesempatan ini adalah seputar permasalahan sunnah dan bid'ah. Hal ini berkaitan dengan sebuah artikel yang diterbitkan oleh sebuah majalah yang diterbitkan di negara kita ini (Qathar). Artikel itu menyandang judul yang amat nyeleneh, yaitu "Istinkaarul-Bid'ah wa Kuraahatul-Jadiid, Mauqifun Islami am jahili?" Artinya, "Mengingkari Bid'ah dan Membenci Hal yang Baru, Apakah Sikap Islami ataukah Sikap Jahiliah?' Di situ, si penulis artikel [dibahas pada bab terakhir] ingin menyampaikan pesan bahwa mengingkari bid'ah adalah suatu sikap jahiliah. Menurutnya, kita tidak boleh mengingkari bid'ah dan harus membiarkan manusia menciptakan apa pun yang dikehendaki oleh inspirasi mereka atau oleh setan mereka, baik setan yang berbentuk manusia maupun jin.





Oleh karena itu, kami ingin mengembalikan masalah ini kepada pokok yang sebenarnya dan kita perlu meredefinisikan (mendefiniskan ulang) pemahaman-pemahaman kita tentang masalah ini karena masalah ini sangat penting. Membiarkan suatu pemahaman tanpa pendefinisian yang jelas akan membuat suatu masalah menjadi seperti karet yang dapat ditarik ulur dan kembali pada keadaan semula, serta membuat setiap orang dapat menafsirkannya sekehendak hatinya. Ini tentunya amat berbahaya.





Karena itulah, kita harus mengetahui makna sunnah yang sebenarnya, juga makna bid'ah, dan apa sikap Islam terhadap bid'ah itu? Mengapa Islam mengingkari bid'ah? Dan, apakah mengingkari bid'ah berarti bid'ah hal yang baru, apa pun bentuk hal yang baru itu? Dengan penjelasan seperti itu, diharapkan kita dapat mengetahui sikap yang benar tentang masalah ini dan hakikat kebenaran dapat diketahui dengan baik serta ketidakjelasan dapat disibakkan. Sehingga, orang yang kemudian binasa adalah karena kesengajaannya semata setelah melihat fakta yang sebenarnya, dan orang yang hidup bahagia adalah orang yang memilih jalan kebenaran setelah melihat kebenaran itu.










Sumber : Sunnah & Bid'ah, Dr. Yusuf Qardhawi, Gema Insani Press.

MAKNA SUNNAH SECARA ETIMOLOGIS DAN TERMINOLOGIS






[Penjelasan lebih terperinci tentang hal ini dapat dibaca pada buku karya Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Madkhal li Dirasat As-Sunnah an-Nabawiyyah (Kairo: Maktabah wahbah), hlm. 7-13]



Sunnah secara etimologis bermakna 'perilaku atau cara berperilaku yang dilakukan, baik cara yang terpuji maupun yang tercela. Ada sunnah yang baik dan ada sunnah yang buruk, seperti yang diungkapkan oleh hadits sahih yang diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya: "Barangsiapa membiasakan (memulai atau menghidupkan) suatu perbuatan baik dalam Islam, dia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan pahala dari perbuatan orang yang mengikuti kebiasaan baik itu setelahnya dengan pahala yang sama sekali tidak lebih kecil dari pahala orang-orang yang mengikuti melakukan perbuatan baik itu. Sementara, barangsiapa yang membiasakan suatu perbuatan buruk dalam Islam, ia akan mendapatkan dosa atas perbuatannya itu dan dosa dari perbuatan orang yang melakukan keburukan yang sama setelah nya dengan dosa yang sama sekali tidak lebih kecil dari dosa-dosa yang ditimpakan bagi orang-orang yang mengikuti perbuatannya itu."

[Redaksi hadits di atas merupakan bagian dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, an-Nasa'i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi dengan periwayatan secara ringkas. Lihat karya Dr. Yusuf al-Qardhawi, al-Muntaqa min Kitab at-Targhib tva Tarhib, 1/115, hadits 41. Dan, pengertian "barangsiapa membiasakan (memulai atau menghidupkan) suatu perbuatan baik dalam Islam" adalah selama masa hidupnya, bukan setelah kematiannya, atau karena peran orang tua atau keturunan-keturunannya]




Kata "sunnah" yang dipergunakan oleh hadits tadi adalah kata sunnah dengan pengertian etimologis. Maksudnya, siapa yang membuat perilaku tertentu dalam kebaikan atau kejahatan. Atau, siapa yang membuat kebiasaan yang baik dan yang membuat kebiasaan yang buruk. Orang yang membuat kebiasaan yang baik akan mendapatkan pahala dari perbuatannya itu dan dari perbuatan orang yang mengikuti perbuatannya, dan orang yang membuat kebiasaan yang buruk maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya itu dan dari perbuatan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Adapun dalam pengertian syariat, kata sunnah mempunyai pengertian tersendiri atau malah lebih dari satu pengertian.





Banyak kata yang mempunyai makna etimologis yang kemudian diberikan makna-makna baru oleh syariat. Seperti kata thaharah; secara etimologis, ia bermakna 'kebersihan', sedangkan dalam pengertian terminologis yang diberikan oleh syariat, ia bermakna 'menghilangkan hadats atau menghilangkan najis, dan sejenisnya'. Demikian juga halnya dengan kata shalat; secara etimologis ia bermakna 'doa', sedangkan dalam pengertian terminologis yang diberikan oleh syariat ia bermakna 'ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan tertentu yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam'. Demikian juga halnya dengan kata sunnah, ia mempunyai pengertian etimologis dan pengertian terminologis syariat.





Pada hakikatnya, dalam terminologi syariat, sunnah mempunyai lebih dari satu makna. Kata sunnah dalam pengertian terminologis fuqaha adalah 'salah satu hukum syariat' atau antonim dari fardhu dan wajib. Ia bermakna sesuatu yang dianjurkan dan didorong untuk dikerjakan. Ia adalah sesuatu yang diperintahkan oleh syariat agar dikerjakan, namun dengan perintah yang tidak kuat dan tidak pasti. Sehingga, orang yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala, dan orang yang tidak mengerjakannya tidak mendapatkan dosa kecuali jika orang itu menolaknya dan sebagainya. Dalam pengertian ini, dapat dikatakan bahwa shalat dua rakaat sebelum shalat shubuh adalah sunnah, sementara shalat shubuh itu sendiri adalah fardhu.





Menurut para ahli ushul fiqih, sunnah adalah apa yang diriwayatkan dari Nabi saw., berupa ucapan, perbuatan, atau persetujuan. Ia dalam pandangan ulama ushul ini, adalah salah satu sumber dari berbagai sumber syariat. Oleh karena itu, ia bergandengan dengan Al-Qur'an. Misalnya, ada redaksi ulama yang mengatakan tentang hukum sesuatu: masalah ini telah ditetapkan hukumnya oleh Al-Qur'an dan sunnah.





Sementara, para ahli hadits menambah definisi lain tentang sunnah. Mereka mengatakan bahwa sunnah adalah apa yang dinisbatkan kepada Nabi saw, berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, atau deskripsi--baik fisik maupun akhlak--atau juga sirah (biografi Rasulullah SAW).





Ada juga makna sunnah yang lain yang menjadi perhatian para ulama syariat, yaitu sunnah dengan pengertian antonim dari bid'ah. Atau, apa yang disunnahkan dan disyariatkan oleh Rasulullah saw. bagi umatnya versus apa yang dibuat-buat oleh para pembuat bid'ah setelah masa Rasulullah saw.. Pengertian sunnah seperti inilah yang disinyalir oleh hadits riwayat Irbadh bin Sariah, salah satu hadits dari seri empat puluh hadits Nawawi yang terkenal itu (Hadits Arba'in, ed.), "... orang yang hidup setelahku nanti akan melihat banyak perbedaan pendapat (di kalangan umat Islam). Dalam keadaan seperti itu, hendaklah kalian berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah kuat-kuat dengan gigi gerahammu dan janganlah kalian mengikuti hal-hal bid'ah, karena setiap perbuatan bid'ah adalah sesat."

[Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam kitab shahih-nya, dan Ahmad. Tirmidzi berkata bahwa hadits ini hasan sahih. Lihat al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhiib 1/ 110, hadits 24]





Oleh karena itu, di kalangan sahabat sering ditemukan adanya pengoposisian antara sunnah dan bid'ah. Mereka berkata bahwa setiap kali suatu kaum membuat bid'ah maka pada saat itu pula mereka menelantarkan sunnah dalam kuantitas yang sama. Ibnu Mas'ud berkata, "Mencukupkan diri dengan berpegang pada sunnah, lebih baik daripada berijtihad dalam bid'ah."





Ini adalah pengertian terakhir kata sunnah, dan ini pula pengertian sunnah yang menjadi topik pembicaraan kami dalam kesempatan ini. Sedangkan, pengertian-pengertian sunnah yang lain, tidak menjadi topik pembicaraan kami ini. Kami telah membicarakan sebagian dari sunnah dengan pengertian-pengertian lainnya itu, misalnya kami telah membicarakan sunnah sebagai salah satu sumber syariat, atau tentang sunnah sebagai ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat, dan sirah Rasulullah saw.. Namun, dalam kesempatan ini, kami hanya ingin mengkaji tentang sunnah dengan pengertian sebagai antonim bid'ah. Atau, apa yang disunnahkan oleh Nabi saw. bagi umatnya.





Petunjuk Nabi saw. adalah sebaik petunjuk, seperti dikatakan oleh Umar ibnul Khaththab r.a., "Keduanya (Al-Qur'an dan sunnah) adalah kalam dan petunjuk, sebaik-baik kalam adalah kalam Allah SWT dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw.." Umar mengutip redaksi ini dari sabda Rasulullah saw. yang diucapkan oleh beliau dalam khotbahnya, "Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perbuatan bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat."

[Hadits diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir r.a. Lihat karya an-Nawawi, Riyadhush Shalihin, bab "an-Nahyu'an al-Bida'h wa Muhdatsaat al-Umur"]





Nabi saw. telah memperingatkan dengan keras perbuatan bid'ah serta memerintahkan umat Islam Untuk mengikuti Sunnah beliau dan menjaganya. Beliau bersabda, "Aku tinggalkan kalian dalam keutamaan dan kemuliaan (ajaran agama) yang terang-benderang, malamnya seterang siangnya, dan tiada orang yang menyimpang darinya kecuali ia akan binasa."

[Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Hakim dalam al-Mustadrak dari jalan periwayatan Imam Ahmad, dan oleh Ibnu Abi Ashim dengan sanad hasan dalam kitab as-Sunnah, hadits no. 48, dengan takhrij al-Albani, dan ia mensahihkannya dengan lanjutannya. Lihat kitab al-Muntaqa min Kitab at-Targhib wa Tarhib, 1/114, hadits no. 39]










Sumber : Sunnah & Bid'ah, Dr. Yusuf Qardhawi, Gema Insani Press.

MAKNA BID'AH MENURUT IMAM ASY-SYATHIBI






[Ia adalah Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami al-Garnathi yang terkenal dengan asy-Syathibi. Ia adalah seorang ahli ushul fiqih dan hafizh hadits dari kalangan penduduk Garnathah (Grenada, saat ini). Di samping itu, ia juga seorang imam mazhab Maliki. wafat pada tahun 790 H/1388 M (lihat: al-A'laam, Zerekly, 10/75). Di antara karya-karyanya adalah kitab al-Muwafaqaat fi Ushul asy-syari'ah, sebuah kitab yang amat bagus yang ditulis dalam bidang itu. Juga kitab al-I'tishaam fi Bayaan assunnah wal-Bid'ah. Kitab terakhir itu juga kitab yang amat bagus yang ditulis dalam bidang itu. Namun sayangnya, sampai saat ini manuskrip nash kitab itu hanya ada satu buah, yang kemudian dicetak, di-tashih, dan diberikan anotasi oleh Imam Salafiah kontemporer: syeikh Muhammad Rasyid Ridha r.a. pengasuh majalah al-Manar dan pengarang tafsir al-Manar. Di dalam kitab itu terdapat banyak kontradiksi antar kalimat, dan redaksi-redaksi yang tidak jelas, namun karena manuskrip nash yang ada hanya satu buah saja sehingga naskah itu tidak dapat dikomparasikan antara dua naskah atau antara berbagai naskah manuskrip, untuk mencapai bentuk redaksional yang sebaik-baiknya, seperti yang dilakukan oleh para pen-tahqiq manuskrip-manuskrip lama. Sebagai tambahan, asy-Syathibi juga tidak menyelesaikan penulisan kitab itu]




Kemudian, apakah makna bid'ah? Dan, apa pengertian bid'ah yang dinilai oleh Nabi saw. sebagai kesesatan dalam agama? Bid'ah, seperti yang didefinisikan oleh Imam asy Syathibi', adalah "cara beragama yang dibuat-buat, yang meniru syariat, yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu sebagai cara berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT" [ Asy-Syathibi, al-I'tishaam (Beirut: Darul Ma'rifah), juz 1, hlm. 37]. Ini merupakan definisi bid'ah yang paling tepat, mendetail, dan mencakup serta meliputi seluruh aspek bid'ah.










Sumber : Sunnah & Bid'ah, Dr. Yusuf Qardhawi, Gema Insani Press.

MEDAN OPERASIONAL BID'AH ADALAH AGAMA






Dari definisi tadi dapat dipetakan bahwa medan operasional bid'ah adalah agama. Ia adalah "tindakan mengada-ada dalam beragama". Dalil pernyataan ini adalah sabda Rasulullah SAW, "Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."
[Hadits Muttafaq 'alaih dari hadits riwayat Aisyah r.a.. Lihat: Syarh Sunnah, karya al-Baghawi, dengan tahqiq Zuhair asy-Syawisy dan Syu' aib al-Arnauth, 1/211, hadits no: 103]




Dalam riwayat yang lain, "Siapa yang menciptakan hal baru dalam urusan (ajaran agama) kita, yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak." [Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah. Lihat al-Muntaqa min Kitab at Targhiib wa Tarhiib, 1/112, hadits no: 32] Artinya, dikembalikan kepada pelakunya, sebagaimana halnya uang palsu yang tidak diterima untuk dijadikan sebagai alat jual-beli, dan ia dikembalikan kepada pemiliknya. Hadits ini juga dinilai oleh para ulama sebagai salah satu pokok agama Islam. Ia adalah bagian dari seri empat puluh hadits Nawawi yang terkenal itu (Hadits Arba'in, ed.).




Para ulama berkata bahwa ada dua hadits yang saling melengkapi satu sama lain; pertama hadits yang amat penting karena ia adalah timbangan bagi perkara yang batin, yaitu hadits, "Sesungguhnya keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleh niat."

[Potongan dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasai, dari Umar bin Khaththab r.a. Lihat al-Muntaqa min Kitab at-Targhiib wat-Tarhiib, 1/102-103, hadits no: 3]




Kedua, hadits yang juga amat penting karena ia adalah timbangan bagi perkara yang zahir, yaitu makna yang dikandung oleh hadits ini, "Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan merupakan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."





Agar amal ibadah seseorang diterima oleh Allah SWT, harus dipenuhi dua hal ini:



  1. Meniatkan amal perbuatannya semata demi Allah SWT, dan

  2. Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.




Oleh karena itu, saat Imam al-Fudhail bin Iyadh, seorang faqih yang zaahid 'orang yang zuhud' (para zaahid generasi pertama adalah para fuqaha), ditanya tentang firman Allah SWT, "... supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.... "(al-Mulk:2); Amal ibadah apakah yang paling baik? Ia menjawab, "Yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar." Ia kembali ditanya, "Wahai Abu Ali (al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu?" Ia menjawab, "Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Kemudian, meskipun amal ibadah itu benar, namun dikerjakan dengan tidak ikhlas, juga tidak diterima oleh Allah SWT. Amal ibadah baru diterima apabila dikerjakan dengan ikhlas dan dengan benar pula. Yang dimaksud dengan 'ikhlas' adalah dikerjakan semata untuk Allah SWT, dan yang dimaksud dengan 'benar' adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah."





Keharusan amal ibadah hanya ditujukan untuk Allah SWT, yaitu sebagaimana dideskripsikan oleh hadits, "Sesungguhnya keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleb niat." Dan, keharusan amal ibadah sesuai dengan tuntunan Sunnah adalah seperti dideskripsikan oleh hadits, "Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kami (Islam) yang bukan merupakan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak."





Dengan demikian, perbuatan bid'ah hanya terjadi dalam bidang agama. Oleh karena itu, salah besar orang yang menyangka bahwa perbuatan bid'ah juga dapat terjadi dalam perkara-perkara adat kebiasaan sehari-hari. Karena, hal-hal yang biasa kita jalani dalam keseharian kita, tidak termasuk dalam medan operasional bid'ah. Sehingga, tidak mungkin dikatakan "masalah ini (salah satu masalah kehidupan sehari-hari) adalah bid'ah karena kaum salaf dari kalangan sahabat dan tabi'in tidak melakukannya". Bisa jadi hal itu adalah sesuatu yang baru, namun tidak dapat dinilai sebagai bid'ah dalam agama. Karena jika tidak demikian, niscaya kita akan memasukkan banyak sekali hal-hal baru yang kita pergunakan sekarang ini sebagai bid'ah: seperti mikropon, karpet, meja, dan bangku yang kalian duduki, semua itu tidak dilakukan oleh oleh generasi Islam yang pertama, juga tidak dilakukan oleh sahabat, apakah hal itu dapat dinilai sebagai bid'ah?





Oleh karena itu, ada orang yang bersikap salah dalam masalah ini sehingga jika melihat ada mimbar yang anak tangganya lebih dari tiga tingkat, niscaya dia akan berkata, "ini adalah bid'ah". Tidak, bid'ah tidak termasuk dalam masalah seperti itu. Rasulullah saw. pertama kali berkhotbah di atas pokok pohon kurma, kemudian ketika manusia bertambah banyak, ada yang mengusulkan, "Tidakkah sebaiknya kami membuat tempat berdiri yang tinggi bagi baginda sehingga orang-orang yang hadir dapat melihat baginda?" Setelah itu, didatangkan seorang tukang kayu, ada yang mengatakan ia adalah tukang yang berasal dari Romawi. Selanjutnya, si tukang kayu membuat mimbar dengan tiga tingkat. Seandainya dibutuhkan mimbar yang lebih dari tiga tingkat, niscaya ia akan membuatnya. Masalah ini tidak termasuk dalam lingkup medan operasional bid'ah.





Oleh karena itu, sangat penting sekali kita mengetahui apa yang dimaksud dengan sunnah? Dan, apa yang dimaksud dengan bid'ah? Juga ada kesalahan sikap dalam memandang perbuatan-perbuatan Rasulullah saw.. Sebagian orang ada yang menyangka bahwa seluruh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah sunnah. Padahal, para ulama berkata bahwa perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang termasuk sebagai sunnah hanyalah perbuatan yang ditujukan oleh beliau sebagai perbuatan ibadah.
[Lebih jauh tentang hal ini dapat dibaca dalam buku al-Madkhal li Dirasat As-Sunnah an-Nabawiyyah, hlm. 24-32, karya Dr. Yusuf al-Qardhawi. Juga sebuah kuliah yang pernah disampaikan olehnya di Fakultas syari'ah Universitas Qathar tentang topik seputar "Sunnah Nabi dan Ragamnya". Di samping itu, ia juga mempunyai dua tulisan yang berkaitan dengan topik ini, yaitu al-Janib at-Tasyriri fi Sunnah an-Nabawiyah yang dipublikasikan oleh Markaz Sunnah dan Sirah dalam jurnal tahunannya. Demikian juga bukunya as-Sunnah Mashdaran lil Ma'rifah wal-Hadharah. (Buku terakhir telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Hayyie al-Kattani, dan diterbitkan oleh Gema Insani Press, 1998)]




Di antara contohnya, Nabi saw.--pada beberapa kesempatan--melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh. Setelah itu, beliau berbaring dengan memiringkan tubuhnya ke samping kanan. [Dari Aisyah r.a., ia berkata, "Nabi saw. setiap kali beliau usai melaksanakan shalat dua rakaat sebelum shubuh, beliau berbaring pada sisi kanan beliau." Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab at-Tahajjud, bab "adh-Dhaj'ah 'ala syaqqil-Aiman Ba'da Rak'atai al-Faji'] Dari sini, ada sebagian ulama--diantaranya Ibnu Hazm--yang menyimpulkan bahwa setelah melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh kita harus berbaring miring di sisi kanan tubuh kita. Padahal, Aisyah r.a. berkata, "Nabi saw. berbaring seperti itu bukan untuk mencontohkan perbuatan sunnah, namun semata karena beliau lelah setelah sepanjang malam beribadah sehingga beliau perlu beristirahat sejenak."
[Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq. Dalam mata rantai periwayatannya terdapat seorang perawi yang namanya tidak disebut dengan jelas. Lihat Fathul Bari, kitab at-Tahajjud, bab "Man Tahaddatsa Ba'da Rak'ataul wa lam Yadhthaji"]



Dengan demikian, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. perlu diperhatikan, apakah yang beliau lakukan itu ditujukan sebagai perbuatan ibadah atau bukan. Di sini banyak terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman, misalnya seperti yang terjadi dalam masalah tata cara makan. Sebagian orang berpendapat bahwa makan dengan sendok dan garpu, atau di meja makan, adalah perbuatan bid'ah. Ini adalah sikap yang berlebihan dan ekstrem. Karena, masalah ini adalah bagian dari kebiasaan sehari-hari yang berbeda-beda bentuknya antara satu daerah dan daerah lain, dan antara satu zaman dan zaman lainnya. Nabi saw makan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh lingkungan beliau, terutama yang sesuai dengan sifat Rasulullah saw., yakni sifat memberikan kemudahan, tawadhu', dan zuhud. Namun demikian, makan dengan menggunakan meja makan atau menggunakan sendok dan garpu, bukanlah sesuatu yang bid'ah. Lain halnya dengan sebagian sisi dari tata cara makan itu.





Saya pernah didebat oleh seorang penulis besar-yaitu seorang tokoh yang sering menulis artikel di majalah-majalah dan kadang-kadang menulis tentang topik keislaman--tentang tuntunan makan dengan tangan kanan. Ia berkata bahwa hal itu bukan sunnah karena ia hanyalah suatu bentuk adat kebiasaan belaka. Saya menjawab bahwa bukan begitu permasalahannya. Dalam masalah seperti ini, kita harus memperhatikannya dengan cermat. Benar, masalah makan dengan sendok dan garpu, atau makan di lantai atau di meja makan, adalah masalah yang bersifat praktikal, dan setiap orang melakukan hal itu sesuai dengan kebiasaan yang berlaku di tengah kaumnya; selama tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa suatu cara tertentu dilakukan sebagai bentuk beribadah, atau ada tuntunan sunnah di situ. Sedangkan, masalah makan dengan tangan kanan, tampak dengan jelas adanya petunjuk Nabi saw. untuk melakukan hal itu. Karena, secara eksplisit Rasulullah saw. memerintahkan hal itu, yaitu saat beliau bersabda kepada seorang anak, "Bacalah nama Allah, Nak, kemudian makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan (hidangan) yang dekat dengan kamu."
[Hadits Muttafaq 'alaih dari hadits Umar bin Abi salmah, Syarh Sunnah karya al-Baghawi, tahqiq asy-Syawisy dan al-Amauth, 11 /275, hadits no. 2823]



Lebih jauh lagi, Rasulullah saw. melarang melakukan tindakan sebaliknya, seperti alam sabda beliau, "Hendaklah kalian tidak makan dan minum dengan tangan kiri kalian karena setan makan dan minum dengan tangan kirinya."
[Hadits diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan Malik serta Abu Dawud juga meriwayatkan hadits yang sama redaksinya dari hadits Ibnu Umar. Lihat juga al-Muntaqa min Kitab at Targhib wa Tarhib, 2:598-599, hadits 1238]




Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hal itu menunjukkan keharaman (makan dan minum dengan tangan kiri) karena beliau menyerupakan orang yang melakukan tindakan seperti itu dengan setan. Dan, beliau tidak pernah menyerupakan sesuatu perbuatan sebagai perbuatan setan dalam masalah yang makruh.





Saat Rasulullah saw. melihat seseorang makan dengan tangan kirinya, beliau bersabda kepadanya, "Makanlah dengan tangan kananmu." Orang itu menjawab, "Aku tidak bisa." Rasulullah saw. kembali bersabda, "Engkau pasti bisa." [Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari Iyas bin Salmah bin Akwa' bahwa ayahnya meriwayatkan kepadanya bahwa seseorang makan bersama Rasulullah saw. sambil menggunakan tangan kirinya. Kemudian, Rasulullah saw. memerintahkan orang itu, "Makanlah dengan tangan kananmu." Ia menjawab, "Aku tidak bisa." Rasulullah saw. kembali bersabda, "Engkau pasti bisa." Yang menghalangi dirinya untuk makan dengan tangan kanan hanyalah semata kesombongannya saja. sang periwayat kembali berkata bahwa orang itu kemudian tidak lagi dapat mengangkat tangannya ke mulutnya. Lihat Kitab al-ASyribah, bab "Adab ath-Tha'am wa Syarab wa Ahkamuha"] Kemudian Rasulullah saw. menyumpahi orang itu sehingga ia tidak lagi dapat mengangkat tangan kanannya setelah itu. Ini menunjukkan bahwa masalah ini (makan dengan tangan kanan) amat ditekankan.





Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini kita harus memperhatikannya dengan cermat agar mengetahui batasan dan aturan-aturannya yang terdapat dalam tuntunan Rasulullah saw.. Untuk kemudian kita usahakan untuk mengetahui mana tindakan yang ditujukan sebagai perbuatan sunnah dan sebagai bentuk beribadah kepada Allah SWT, dan mana tindakan yang bersifat sekadar kebiasaan dan alami.





Kadang-kadang Nabi saw. melakukan sesuatu seperti cara kaum beliau melakukan hal itu, beliau makan dengan cara seperti mereka makan, beliau minum dengan cara seperti mereka minum, dan beliau berpakaian dengan cara seperti mereka berpakaian. Dan, terkadang beliau melakukan sesuatu sesuai dengan kecenderungan selera beliau. Misalnya, beliau senang makan labu. Apakah kita semua harus senang makan labu? Masalah-masalah seperti ini ditentukan oleh selera masing-masing orang; ada orang yang senang sop kaki, ada yang senang sayur bayam, dan seterusnya.





Rasulullah saw. juga menyenangi daging kaki depan; apakah kita semua juga harus menyenangi daging kaki depan? Ada orang yang senang dengan daging punggung, ada yang senang dengan daging paha, dan seterusnya. Jika selera Anda kebetulan sama dengan selera Nabi saw, hal itu adalah baik dan berkah. Dan, jika ada seseorang yang berusaha sedapat mungkin mencontoh seluruh perilaku Rasulullah saw hingga pada masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan tuntunan agama karena semata dorongan kecintaannya yang demikian besar terhadap Rasulullah saw., dan kesungguhannya untuk mencontoh segala hal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., ini juga suatu tindakan yang terpuji, meskipun hal itu tidak dianjurkan oleh agama.





Jika ada seseorang yang berkata, "Aku ingin mencontoh segala perilaku Rasulullah saw., meskipun apa yang dilakukan oleh beliau tidak termasuk dalam tuntunan ibadah. Aku akan makan dengan bersila di lantai dan dengan menggunakan tanganku (tanpa menggunakan sendok dan garpu), seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw.." Kepada orang seperti itu kami katakan, semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan kepadamu. Kami tidak akan mengingkari tindakannya itu, dan barangkali orang itu akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya.





Adalah Ibnu Umar r.a. karena kesungguhannya yang besar untuk mengikuti segala perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan kesempurnaan cintanya kepada beliau, ia mengikuti segala apa pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., meskipun hal itu tidak termasuk perbuatan ibadah atau bukan perbuatan yang diperintahkan untuk dikerjakan. [Oleh karena itu, Ibnu Umar r.a. dikenal sebagai sahabat yang amat senang mengikuti segala tingkah laku Rasulullah saw. karena ia amat senang mengikuti ucapan dan perbuatan beliau] Demikian juga sebagian sahabat yang lain.





Misalnya, ada seorang sahabat yang melihatnya sedang shalat dengan kancing yang terbuka; saat ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab bahwa ia melihat Rasulullah saw. melakukan perbuatan seperti itu. [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab Shahih-nya dan Baihaqi dalam Sunan-nya dari Zaid bin Aslam. Ia berkata, "Aku melihat Ibnu Umar shalat dengan kancing yang terbuka. Kemudian, aku bertanya kepadanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab, "Karena aku pernah melihat Rasulullah saw. melakukannya."] Padahal, barangkali Nabi saw. melakukan hal itu semata karena pada saat itu beliau sedang kegerahan atau dalam keadaan musim panas. Lantas, apakah Anda akan melakukan tindakan yang sama pula pada saat musim dingin! Itu hanyalah pendapat Ibnu Umar saja. Suatu saat Ibnu Umar sedang berada dalam perjalanan bersama rombongan, tiba-tiba ia meminggirkan kendaraannya dari jalan sehingga rombongan yang menyertainya merasa heran. Lantas, pembantunya menjelaskan bahwa ia melakukan hal itu karena dahulu ia pernah berjalan bersama Nabi saw. di tempat itu, kemudian saat tiba di tempat itu Rasulullah SAW bergerak minggir ke pinggir jalan.
[Dari Mujahid, ia berkata, "Suatu saat kami berjalan bersama Ibnu Umar r.a. dalam sebuah perjalanan. selanjutnya, kami melewati suatu tempat. Tiba-tiba di tempat itu Ibnu Umar menepi dari jalan. Saat ia ditanya, 'Mengapa engkau melakukan hal ini?' ia menjawab, 'Karena aku pernah melihat Rasulullah saw. melakukan hal itu maka aku pun melakukannya." Diriwayatkan oleh Ahmad dan Bazzaar dengan sanad yang baik. Haitsami berkata bahwa para perawinya dapat dipercaya, Lihat al-Muntaqa min Kitab at-Targhib wa Tarhib, 1/112, hadits 31]




Dalam salah satu perjalanan ibadah haji, ia juga pernah mengistirahatkan kendaraannya di suatu tempat dan rombongan yang menyertainya juga ikut beristirahat bersamanya. Para anggota rombongan itu bertanya-tanya, apa yang ia ingin kerjakan di tempat itu? Ternyata, ia pergi ke suatu tempat dan melaksanakan hajatnya (membuang air kecil atau besar) di tempat itu. Dan, saat ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab bahwa hal itu dilakukannya karena pada saat Nabi saw. melaksanakan ibadah haji dan sampai ke tempat ini, beliau melaksanakan hajat beliau di tempat itu.
[Dari Ibnu Sirin, ia berkata: kami bersama Ibnu Umar r.a. di Arafat. Saat ia istirahat, kami pun ikut istirahat bersamanya. Hingga datang imam shalat, maka ia pun shalat zhuhur dan ashar bersamanya. Kemudian aku dan sahabat-sahabatku wukuf bersamanya hingga imam bergerak keluar dari Arafah. Setelah itu, kami pun ikut bergerak. Hingga sampai ke suatu tempat sebelum Ma'zamain. Di situ, Ibnu Umar mengistirahatkan kendaraannya, maka kami pun mengikutinya. Kami menyangka ia akan melaksanakan shalat. Namun pembantunya yang menjaga kendaraannya mengatakan bahwa ia tidak hendak melaksanakan shalat, namun ia mengatakan bahwa Nabi saw., saat beliau sampai ke tempat itu, beliau melaksanakan hajatnya. Oleh karena itu, Ibnu Umar pun ingin melaksanakan hajat juga di tempat itu. Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya adalah para perawi yang dijadikan andalan dalam kitab-kitab sahih. Atsar ini juga disebutkan oleh Al Hafizh al Manawi dalam kitab At Targhiib wa at Tarhiib, fashal at Targhiib fi ittiba' as sunnah. Lihat: al Madkhal li Dirasat as Sunnah an Nabawiah, karya Dr. Yusuf al Qaradhawi, hal: 24-32.]




Apakah tindakan seperti ini diperintahkan untuk dikerjakan oleh insan muslim? Tentu saja tidak, namun, perbuatan tadi adalah suatu bentuk manifestasi kesempurnaan cinta kepada Nabi saw.. Ia juga senang meletakkan untanya di tempat Rasulullah SAW meletakkan unta beliau.





Perbuatan semacam ini tidak kami cela kecuali jika orang itu mengharuskan manusia untuk melakukan tindakan seperti itu juga. Karena, perbuatan seperti itu tidak diperintahkan oleh agama. Oleh karena itu, ia harus mengetahui bahwa apa yang ia lakukan itu tidak harus dilakukan oleh manusia dan tidak wajib bagi mereka, juga bukan perbuatan yang sunnah.





Orang yang melakukan hal itu telah melakukan tindakan yang baik, namun ia menjadi salah jika ia menginginkan--atau malah memaksakan--orang lain untuk melakukan tindakan yang sama seperti yang ia lakukan, atau mengingkari dan mencela orang yang tidak melakukannya. Atau juga jika ia meyakini bahwa hal itu adalah bagian dari pokok agama, atau bagian darinya, atau menganggap orang yang meninggalkan perbuatan itu berarti telah meninggalkan sunnah. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penting bagi kita memisahkan antara sunnah yang sebenarnya dan bid'ah.










Sumber : Sunnah & Bid'ah, Dr. Yusuf Qardhawi, Gema Insani Press.

KREASI DAN PENEMUAN BARU SEHARUSNYA HANYA DALAM URUSAN DUNIAWI








Bid'ah, seperti kami katakan sebelumnya, adalah "tindakan mengada-ada dalam beragama". Karena, Islam menghendaki para pemeluknya untuk menjalankan agama sesuai batas ketentuan yang telah diberikan dan tidak mengada-ada. Untuk kemudian, mencurahkan energi kreatif mereka untuk membuat kreasi baru dalam bidang-bidang keduniawian. Inilah yang dilakukan oleh generasi salafus saleh.




Kalangan salaf menjalankan agama pada batas ajaran yang jelas telah ada, dalam riwayat yang pasti dari Rasulullah saw. dan pada sunnah-sunnah. Untuk kemudian, mereka mencurahkan segenap potensi dan energi mereka untuk berkreasi dan bekerja untuk memperbaiki kehidupan duniawi.




Dalam biografi Umar Ibnul-Khaththab r.a., Anda akan menemukan banyak hal yang dikenal dengan awwaliyyaat Umar 'pioniritas Umar'. Yaitu, ia adalah orang yang pertama kali mengadakan sistem administrasi di negara Islam, yang pertama kali membangun kota-kota terpadu, pemimpin yang pertama kali mengadakan investigasi langsung kepada rakyat, dan lain-lain.




Ada kitab yang berjudul al-Awaail 'Hal-Hal yang Pertama' atau apa-apa yang pertama kali dibudayakan oleh kalangan salaf. Para sahabat telah menciptakan banyak kreasi untuk menciptakan kemaslahatan bagi kaum muslimin.




Dan, makna 'mengada-ada' adalah hal itu tidak mempunyai sumber dalam syariat. Asal kata bid'ah adalah diambil dari kata bad'a dan ibtada'a, yang bermakna 'menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya'. Oleh karena itu, Al-Qur'an mendeskripsikan Allah SWT sebagai, "Allah Pencipta langit dan bumi." Artinya, Allah SWT menciptakan langit dan bumi dari nol, tanpa adanya contoh sebelumnya. [Asy-Syathibi, al-I'tisham (Beirut: Darul Ma'rifah), juz 1/36]




Membuat bid'ah adalah menciptakan ajaran agama yang tidak ada aturannya dari Rasulullah SAW, juga dari Khulafa ar-Rasyidin, yang diperintahkan kepada kita agar mengikuti sunnah mereka.










Sumber : Sunnah & Bid'ah, Dr. Yusuf Qardhawi, Gema Insani Press.


SESUATU YANG MEMILIKI LANDASAN DALAM SYARIAT TIDAK DINILAI SEBAGAI BID'AH








Sesuatu yang baru itu, jika ia mempunyai asal dan sumber dalam syariat, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai bid'ah. Banyak hal yang dibuat oleh kaum Muslimin yang mempunyai asal dan landasan dalam syariat. Misalnya, penulisan dan pengkompilasian (penggabungan) Al-Qur'an dalam satu mushaf, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar berdasarkan usul Umar r.a..



Sebelumnya Abu Bakar merasa berat untuk melaksanakan rencana itu. Ia berkata, "Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw.?" Namun, Umar terus membujuknya dan memberikan argumentasi betapa pentingnya hal itu hingga akhirnya Abu Bakar menerima usul itu dan melaksanakannya. [Demikian juga halnya dengan Zaid bin Tsabit yang diperintahkan oleh Abu Bakar untuk mengumpulkan catatan-catatan ayat Al-Qur an dan mengkompilasikannya. Namun, Abu Bakar terus mendorong Zaid hingga Allah SWT melapangkan dadanya, sebagaimana telah terjadi dengan Umar dan Abu Bakar r.a.] Karena, hal itu demi kebaikan dan kepentingan kaum muslimin, meskipun hal itu tidak dilakukan oleh Nabi saw.. Agama Islam dapat dipertahankan dengan menjaga dan memelihara Al-Qur an itu, dan Al-Qur an adalah pokok agama, sumber, dan pokok yang abadi. Oleh karena itu, kita harus menjaga Al-Qur'an dari kemungkinan tercecer atau mengalami kesimpangsiuran.



Nabi saw telah mengizinkan pencatatan wahyu saat wahyu diturunkan. Dan, beliau memiliki sekretaris yang bertugas mencatat wahyu-wahyu yang diturunkan (Zaid bin Tsabit). Semua itu dilakukan dalam upaya menjaga dan memelihara Al-Qur'an.




Selama masa hidup Nabi SAW, beliau tidak mengkompilasikan Al-Qur'an dalam satu kesatuan. Karena, pada saat itu, ayat-ayat Al-Qur'an terus turun secara beriringan, dan Allah SWT terkadang mengubah sebagian ayat yang telah diturunkan kepada Rasulullah saw. itu. Sehingga, jika ayat-ayat yang diturunkan itu langsung dikompilasikan ke dalam satu kesatuan, niscaya akan ditemukan kesulitan jika terjadi perubahan dari Allah SWT. Terkadang, saat suatu ayat diturunkan, Rasulullah SAW memerintahkan kepada para pencatat wahyu, letakkanlah ayat ini dalam surah itu (surah tertentu), dan masing-masing surah dalam Al-Qur'an belum diketahui sudah lengkap atau belum ayat-ayatnya, hingga seluruh ayat Al-Qur'an selesai diturunkan.



Surah al-Baqarah misalnya, ia turunkan pada permulaan era Madinah. Namun, ayat-ayat dalam surah itu baru terlengkapi setelah lewat delapan tahun. Dan, di dalamnya terdapat ayat-ayat yang oleh ulama dikelompokkan sebagai ayat-ayat yang terakhir diturunkan. Seperti pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat Al-Qur'an yang terakhir diturunkan adalah firman Allah SWT: "Dan, peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian, masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)." (al-Baqarah: 281)



Oleh karena itu, selama masa itu, Nabi saw. melarang upaya pengkompilasian Al-Qur an. Namun, saat kelengkapan Al-Qur'an telah diketahui, setelah wafatnya Rasulullah saw., maka para sahabat merasa aman dari kemungkinan adanya penambahan dan pengurangan Al-Qur an. Oleh karena itu, mereka segera mencatat ayat-ayat Al-Qur'an yang berserakan dalam berbagai media dan mengkompilasikannya dalam satu mushaf. Dengan demikian, hal ini mempunyai dasar dan sandaran dalam syariat sehingga perbuatan itu tidak dapat dianggap sebagai bid'ah.



Contoh yang lain adalah tindakan Umar r.a. yang menyatukan orang-orang yang melaksanakan shalat tarawih dalam satu jamaah shalat di bawah satu imam shalat, yaitu Ubay bin Ka'ab. Sebelumnya, mereka melaksanakan shalat tarawih secara terpisah-pisah dengan imam shalat masing-masing. Bukhari meriwayatkan dari Abdurrahman bin Abdul Qaari bahwa ia berkata, "Aku berjalan bersama Umar Ibnul-Khaththab pada malam bulan Ramadhan menuju masjid. Pada saat itu, kami menemukan masyarakat melakukan shalat (tarawih) secara terpisah-pisah. Ada yang shalat sendirian dan ada pula yang shalat dengan diikuti oleh beberapa orang makmum. Melihat itu Umar berkata, "Aku berpendapat, seandainya semua orang disatukan dalam jamaah shalat (tarawih) di bawah pimpinan satu orang imam niscaya akan lebih baik." Dan, rencananya Umar akan mengangkat Ubay bin Ka'ab sebagai imam shalat mereka. Kemudian, pada malam lainnya, aku kembali berjalan bersama Umar (menuju masjid). Saat itu, kami telah mendapati orang-orang sedang melaksanakan shalat (tarawih) di bawah pimpinan satu imam shalat mereka. Melihat itu Umar berkomentar, "Bid'ah yang paling baik adalah ini. [Asy-Syathibi berkata bahwa Umar menamakannya seperti itu, dengan melihatnya dari unsur luarnya, yaitu suatu pebuatan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw.. Juga tidak pernah terjadi pada masa Abu Bakar r.a.. Namun, bid'ah yang diucapkannya itu bukan bid'ah dengan pengertian terminologis. Maka, siapa yang menamakan perbuatan tadi sebagai bid'ah, dengan pengertian bid'ah seperti itu, maka tidak ada yang perlu diperdebatkan dalam masalah istilah dan terminologi. Lihat al-I'tishaam, 1/195] Dan, orang yang saat ini tidur adalah lebih baik dari mereka yang melaksanakan qiyamullail pada saat ini karena mereka (yang masih tidur) akan melaksanakannya pada akhir malam, sedangkan orang lainnya melaksanakannya pada awal malam." [Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Shalat Tarawih bab "Fadhlu man Qaama Ramadhaan". Dan, lafal hadits tadi dikutip darinya. Juga diriwayatkan oleh Malik dalam kitab al-Muwaththa, bab "Bad'u Qiyaam Layaali Ramadhaan"]



Kata "bid'ah" yang diucapkan oleh Umar tadi, yakni kalimat "bid'ah yang paling baik adalah ini" adalah kata bid'ah dengan pengertian lughawi 'etimologis', bukan dengan pengertian terminologis syariat. Karena, kata bid'ah dalam pengertian etimologis adalah "sesuatu yang baru diciptakan atau baru diperbuat" yang belum pernah ada sebelumnya. Yang dimaksud oleh Umar dengan ucapannya itu adalah, manusia sebelumnya belum pemah melaksanakan shalat tarawih dalam kesatuan jamaah shalat seperti itu. Meskipun pada dasarnya, shalat tarawih secara jamaah itu sendiri pernah terjadi pada masa Nabi saw.. Karena, beliau mendorong kaum muslimin untuk melaksanakan shalat itu. Dan, banyak orang yang mengikuti shalat tarawih beliau selama beberapa malam. Namun, saat beliau mendapati banyak orang yang berkumpul untuk melaksanakan shalat tarawih bersama beliau, beliau tidak menemui mereka lagi untuk shalat bersama. Kemudian, pada pagi harinya, beliau bersabda, "Aku melihat apa yang kalian lakukan itu, dan yang menghalangi diriku untuk keluar dan shalat (tarawih) bersama kalian adalah karena aku takut jika shalat itu sampai diwajibkan atas kalian." [Aisyah r.a. berkata,"Nabi saw. shalat (sunnah pada malam bulan Ramadhan) di masjid, maka orang-orang kemudian mengikuti shalat beliau itu. Pada malam kedua, beliau kembali shalat, dan kali ini para jamaah semakin bertambah banyak. Setelah itu, pada malam ketiga atau keempat, orang-orang berkumpul di masjid, namun Nabi saw. tidak keluar dari rumah beliau. Pada pagi harinya, Rasulullah saw. bersabda, "Aku melihat apa yang kalian lakukan itu, dan yang menghalangi diriku untuk keluar dan shalat (tarawih) bersama kalian adalah karena aku takut jika shalat itu sampai diwajibkan atas kalian." hadits Muttafaq 'afaih. Lihat karya asy-syaukani, Nailul Authar, 3/61, Darul Fikr.]



Kekhawatiran ini, yakni kekhawatiran Rasulullah saw. jika Allah SWT mewajibkan shalat tarawih itu, menjadi hilang dengan wafatnya Nabi saw.. Dengan begitu, hilang pula faktor yang menghalangi dilaksanakannya shalat tarawih dalam satu kesatuan jamaah shalat. [Asy-Syathibi berkata bahwa perhatikanlah, dalam hadits ini--yakni hadits Aisyah tadi--ada indikasi yang menunjukkan bahwa perbuatan itu adalah sunnah karena, dengan kenyataan Rasulullah saw. melakukan qiyamullail Ramadhan (shalat sunnah pada malam bulan Ramadhan) dengan berjamaah di masjid, pada hari pertama dan kedua. Ini menunjukkan bahwa perbuatan itu sah dan boleh dilaksanakan. Sementara, dengan tidak keluarnya Rasulullah saw (pada malam ketiga atau keempat) itu karena mengkhawatirkan jika shalat qiyamullail Ramadhan diwajibkan bagi umat Islam, hal itu sama sekali tidak menunjukkan pelarangan perbuatan itu. Karena, masa ini adalah masa turunnya wahyu dan syariat sehingga bisa saja jika perbuatan itu kemudian diwajibkan bagi umat Islam. Oleh karena itu, ketika illat syariat itu telah hilang dengan wafatnya Rasulullah saw., maka kembalilah hukum masalah itu kepada hukum asalnya. Dengan demikian, perbuatan ihi secara jelas dibolehkan dan tidak ada penasakhan (penghapusan hukum) baginya. Lihat al-I'tishaam, 1/194.]



Yang terpenting, makna "mukhtara'ah (sesuatu yang baru diciptakan atau baru diperbuat)" itu adalah sesuatu yang tidak diperintahkan oleh syariat.





Dari sini, ulama salaf kemudian mengkompilasikan ilmu-ilmu syariat, kemudian menciptakan ilmu-ilmu baru untuk mendukung syariat itu. Seperti, ilmu ushul fiqih, ilmu musthalah hadits, ilmu-ilmu bahasa Arab, dan sebagainya.










Sumber : Sunnah & Bid'ah, Dr. Yusuf Qardhawi, Gema Insani Press.

MENIRU JALAN SYARIAT









Kembali kepada definisi bid'ah yang diberikan oleh asy-Syathibi. Kalimat "meniru syariat", artinya hal itu meniru jalan syariat, padahal pada kenyataannya tidak seperti itu. Ada banyak hal yang diciptakan oleh manusia yang tidak mempunyai sandaran dan dasar dalam syariat, hanya saja ia mempunyai sisi kemiripan kepada suatu ajaran syariat itu. Karena, hal itu suatu bentuk beribadah dan pada satu segi ia meniru jalan syariat. Sisi inilah yang dianggap baik oleh para pembuat bid'ah dan para pengikut mereka. Karena, jika hal itu tidak memiliki suatu kemiripan dengan manusia, niscaya orang banyak akan menolaknya. Mereka menganggap hal itu baik karena ada segi kemiripannya dengan jalan syariat.












Sumber : Sunnah & Bid'ah, Dr. Yusuf Qardhawi, Gema Insani Press.